Cerita ini adalah lanjutan dari Cerita Pendek Sekali yang saya unggah beberapa waktu lalu....tepatnya 15 Desember 2011
Gadis itu memeluk bukunya erat sambil berjalan di sela-sela keramaian pusat kota siang itu. Matanya terus sibuk mencari partner kerja yang akan ditemuinya. Sesekali ia melirik jam tangannya untuk memastikan ia tidak terlambat lagi kali ini. Ia memang agak sibuk belakangan ini akibat beberapa kerja tambahan yang diambil untuk penghasilan tambahannya.
" Bruk!!!" tiba-tiba tubuhnya menabrak seseorang di depannya tanpa sengaja. Tubuh pria itu tinggi besar. Jauh di atasnya. Wajah itu. Ya, pria itu lagi. Wajah yang tidak mungkin dilupakannya. Wajah pria yang diam-diam pernah dicintainya semasa SMA. Pria yang dulunya pernah menjadi sahabat yang melindungi namun juga menyakiti saat persahabatan bukan lagi sekedar persahabatan. Atau paling tidak begitulah yang dirasakan si gadis.
Masayu. Gadis yang masih sama seperti dulu. Berambut ikal namun kini ia memilih memanjangkan poninya dan menyelipkan di ujung telinganya. Rambutnya masih panjang dan dibiarkan tergerai rapi di belakang punggungnya.
Postur badannya tidak terlalu bertambah. Masih mungil dengan tinggi 155 cm dan berat 47 kg. Kali ini ia lebih tinggi akibat kewajibannya menggunakan high heels yang membuat kakinya terlihat lebih jenjang.
"Maaf" ujar si gadis sambil mengambil beberapa naskah yang tercecer akibat kejadian itu. Pria itu ikut membantu.
'Semoga dia tidak melihatku' pikir gadis itu sambil mengambil beberapa kertas dan buku dari tangan pria itu. Tangan kanannya dengan cekatan mengacak poninya yang mulai panjang dan membuatnya menutupi wajahnya yang memerah.
"Terima kasih" ujar gadis itu lagi sambil tersenyum, masih menunduk dan bergegas pergi.
"Masayu?" tebak pria itu. 'Ternyata dia melihatku. Paling tidak, ternyata dia masih mengenalku' pikir gadis itu lagi.
" Hai" balas si gadis sambil tersenyum.
"Apa kabar?" tanya si pria
"Baik, seperti biasa" balas si gadis sambil melirik jam tangannya yang berwarna cokelat.
"Awalnya kupikir itu bukan kamu... Hey! kemana poni itu?" candanya sambil mengacak bagian depan rambut si gadis.
"Sudah panjang" jelas gadis itu sambil merapikan poninya dan menyelipkannya lagi ke belakang telinga.
"Buru-buru?" tanya si pria.
Namanya Raditya. Pria dengan tinggi 175 cm, rambut lurus yang sengaja dimodel acak seperti potongan jaman sekarang dan berkulit kecokelatan. Pria itu mengenakan kemeja biru muda dengan dasi biru gelap, celana kain hitam dan sepatu pantovel layaknya para karyawan lain di daerah sana.
" Iya, duluan ya, ada wawancara kerja part time" senyum si gadis sambil melambai pelan. Lalu menghilang di balik kerumunan pekerja yang lain.
Ia mempercepat langkahnya, secepat degup jantungnya dan berharap si pria tidak lagi melihatnya.
Hampir lima tahun mereka tidak saling bertemu. Setelah si pria memutuskan untuk berpacaran dengan primadona di sekolahnya kala itu, hubungan mereka merenggang. Entah karena kesibukan masing-masing atau karena mereka yang saling menghindar. Begitulah 'kabar baik' yang akhirnya terjadi. Masayu memutuskan untuk pindah keluar kota selepasnya SMA dengan alasan jurusan yang ia pilih tidak ada di kotanya saat itu. Walaupun sebenarnya ia hanya ingin membuang jauh mimpi-mimpinya bersama Raditya.
Gedung itu berdinding putih bersih dengan dua pilar di depannya. Masayu mempercepat langkah kecilnya menuju receptionist untuk menjelaskan kedatangannya pagi itu.
"Tunggu di lantai tiga ya, si Bapak belum datang, seperti macet di jalan" jelas gadis yang duduk di belakang meja receptionist. Masayu mengangguk sambil tersenyum dan segera menunggu di tempat yang dimaksud setelah sebelumnya mampir ke kamar mandi perempuan untuk merapikan penampilannya yang tadinya acak-acakan.
Ia menunggu di ruang tunggu ruangan yang bertuliskan 'Direktur Utama' sebuah majalah ternama di negara itu. Ia bermaksud menjadi penulis lepas agar bisa menghasilnya tambahan-tambahan kecil dalam keuangannya.
"Silahkan masuk, Bapak sudah di dalam" sapa si sekretaris sambil membukakan pintu untuknya. Ia berjalan pasti sambil memeluk berkas dan tulisannya erat-erat. Ia langsung terpaku begitu melihat si pemilik ruangan yang duduk menghadapnya dengan tatapan sama kagetnya. Dia di sana. Radit. Lagi.
"Hai lagi" senyumnya. "Duduklah, aku ingin melihat tulisanmu" tambah pria itu.
"Hm... kupikir, um.... mungkin ini bukan ide bagus, yah aku baru belajar menulis, mungkin aku harus mengedit beberapa kalimat dan... yah, ini berantakan sekali... hm... kupikir..."
"Biar kulihat dulu" potongnya.
Si gadis ragu-ragu namun tetap menyerahkan salah satu map yang berisi tulisannya. Tanyannya gemetar dan mulai basah. Map itu menggantung lama sebelum disambar dengan pelan oleh si pria.
"Duduklah" tambahnya lagi.
Si pria menatap gadis itu dengan rindu. Sudah berapa lama ia menghilang begitu saja? Hanya bisa dilihat lewat facebook yang diam-diam sering dilihatnya. Hanya bisa tenang setelah melihat status-statusnya yang bahagia dan begitu khawatir tanpa bisa berbuat apa saat statusnya bermasalah. Ia memang tak pernah punya hak untuk gadis itu.
Ia membuka map itu perlahan dan langsung tertegun begitu melihat judul tulisan yang bercetak tebal itu.
"Aku dan Pria SMA ku"
Si pria tersenyum geli, sekaligus lega tapi tetap bertanya-tanya.
"Kuharap ini tentang aku" ujarnya lirih sambil menatap wajah gadis di depannya yang mulai merona.
Si gadis hanya tersenyum malu, berusaha untuk tidak berlari seketika itu juga.
bersambung...
Gadis itu memeluk bukunya erat sambil berjalan di sela-sela keramaian pusat kota siang itu. Matanya terus sibuk mencari partner kerja yang akan ditemuinya. Sesekali ia melirik jam tangannya untuk memastikan ia tidak terlambat lagi kali ini. Ia memang agak sibuk belakangan ini akibat beberapa kerja tambahan yang diambil untuk penghasilan tambahannya.
" Bruk!!!" tiba-tiba tubuhnya menabrak seseorang di depannya tanpa sengaja. Tubuh pria itu tinggi besar. Jauh di atasnya. Wajah itu. Ya, pria itu lagi. Wajah yang tidak mungkin dilupakannya. Wajah pria yang diam-diam pernah dicintainya semasa SMA. Pria yang dulunya pernah menjadi sahabat yang melindungi namun juga menyakiti saat persahabatan bukan lagi sekedar persahabatan. Atau paling tidak begitulah yang dirasakan si gadis.
Masayu. Gadis yang masih sama seperti dulu. Berambut ikal namun kini ia memilih memanjangkan poninya dan menyelipkan di ujung telinganya. Rambutnya masih panjang dan dibiarkan tergerai rapi di belakang punggungnya.
Postur badannya tidak terlalu bertambah. Masih mungil dengan tinggi 155 cm dan berat 47 kg. Kali ini ia lebih tinggi akibat kewajibannya menggunakan high heels yang membuat kakinya terlihat lebih jenjang.
"Maaf" ujar si gadis sambil mengambil beberapa naskah yang tercecer akibat kejadian itu. Pria itu ikut membantu.
'Semoga dia tidak melihatku' pikir gadis itu sambil mengambil beberapa kertas dan buku dari tangan pria itu. Tangan kanannya dengan cekatan mengacak poninya yang mulai panjang dan membuatnya menutupi wajahnya yang memerah.
"Terima kasih" ujar gadis itu lagi sambil tersenyum, masih menunduk dan bergegas pergi.
"Masayu?" tebak pria itu. 'Ternyata dia melihatku. Paling tidak, ternyata dia masih mengenalku' pikir gadis itu lagi.
" Hai" balas si gadis sambil tersenyum.
"Apa kabar?" tanya si pria
"Baik, seperti biasa" balas si gadis sambil melirik jam tangannya yang berwarna cokelat.
"Awalnya kupikir itu bukan kamu... Hey! kemana poni itu?" candanya sambil mengacak bagian depan rambut si gadis.
"Sudah panjang" jelas gadis itu sambil merapikan poninya dan menyelipkannya lagi ke belakang telinga.
"Buru-buru?" tanya si pria.
Namanya Raditya. Pria dengan tinggi 175 cm, rambut lurus yang sengaja dimodel acak seperti potongan jaman sekarang dan berkulit kecokelatan. Pria itu mengenakan kemeja biru muda dengan dasi biru gelap, celana kain hitam dan sepatu pantovel layaknya para karyawan lain di daerah sana.
" Iya, duluan ya, ada wawancara kerja part time" senyum si gadis sambil melambai pelan. Lalu menghilang di balik kerumunan pekerja yang lain.
Ia mempercepat langkahnya, secepat degup jantungnya dan berharap si pria tidak lagi melihatnya.
Hampir lima tahun mereka tidak saling bertemu. Setelah si pria memutuskan untuk berpacaran dengan primadona di sekolahnya kala itu, hubungan mereka merenggang. Entah karena kesibukan masing-masing atau karena mereka yang saling menghindar. Begitulah 'kabar baik' yang akhirnya terjadi. Masayu memutuskan untuk pindah keluar kota selepasnya SMA dengan alasan jurusan yang ia pilih tidak ada di kotanya saat itu. Walaupun sebenarnya ia hanya ingin membuang jauh mimpi-mimpinya bersama Raditya.
Gedung itu berdinding putih bersih dengan dua pilar di depannya. Masayu mempercepat langkah kecilnya menuju receptionist untuk menjelaskan kedatangannya pagi itu.
"Tunggu di lantai tiga ya, si Bapak belum datang, seperti macet di jalan" jelas gadis yang duduk di belakang meja receptionist. Masayu mengangguk sambil tersenyum dan segera menunggu di tempat yang dimaksud setelah sebelumnya mampir ke kamar mandi perempuan untuk merapikan penampilannya yang tadinya acak-acakan.
Ia menunggu di ruang tunggu ruangan yang bertuliskan 'Direktur Utama' sebuah majalah ternama di negara itu. Ia bermaksud menjadi penulis lepas agar bisa menghasilnya tambahan-tambahan kecil dalam keuangannya.
"Silahkan masuk, Bapak sudah di dalam" sapa si sekretaris sambil membukakan pintu untuknya. Ia berjalan pasti sambil memeluk berkas dan tulisannya erat-erat. Ia langsung terpaku begitu melihat si pemilik ruangan yang duduk menghadapnya dengan tatapan sama kagetnya. Dia di sana. Radit. Lagi.
"Hai lagi" senyumnya. "Duduklah, aku ingin melihat tulisanmu" tambah pria itu.
"Hm... kupikir, um.... mungkin ini bukan ide bagus, yah aku baru belajar menulis, mungkin aku harus mengedit beberapa kalimat dan... yah, ini berantakan sekali... hm... kupikir..."
"Biar kulihat dulu" potongnya.
Si gadis ragu-ragu namun tetap menyerahkan salah satu map yang berisi tulisannya. Tanyannya gemetar dan mulai basah. Map itu menggantung lama sebelum disambar dengan pelan oleh si pria.
"Duduklah" tambahnya lagi.
Si pria menatap gadis itu dengan rindu. Sudah berapa lama ia menghilang begitu saja? Hanya bisa dilihat lewat facebook yang diam-diam sering dilihatnya. Hanya bisa tenang setelah melihat status-statusnya yang bahagia dan begitu khawatir tanpa bisa berbuat apa saat statusnya bermasalah. Ia memang tak pernah punya hak untuk gadis itu.
Ia membuka map itu perlahan dan langsung tertegun begitu melihat judul tulisan yang bercetak tebal itu.
"Aku dan Pria SMA ku"
Si pria tersenyum geli, sekaligus lega tapi tetap bertanya-tanya.
"Kuharap ini tentang aku" ujarnya lirih sambil menatap wajah gadis di depannya yang mulai merona.
Si gadis hanya tersenyum malu, berusaha untuk tidak berlari seketika itu juga.
bersambung...